Keterangan Gambar : Ilham Layli Mursidi (Bidang Partisipasi Pembangunan Daerah HMI Banyuwangi)
Penarakyat.co.id - Akhir-akhir ini kita di hebohkan oleh berita yang mencuat terkait konflik yang terjadi di pulau Rempang, Batam, kepulauan Riau yang diakibatkan oleh penolakan masyarakat lokal melayu terhadap Pembangunan Proyek Strategi Nasional (PSN) Rempang Eco City.
Jika di tinjau melalui lensa ekonomi internasional, pulau Rempang dinilai memiliki potensi besar terhadap jalur perdagangan dunia karena berdekatan dengan 2 negara yakni Malaysia dan Singapura.
Hal ini, yang kemudian menjadi pertimbangan pemerintah untuk menarik investor asing agar menanamkan investasinya di pulau rempang. Salah satunya yakni perusahaan China Xinyi Group yang akan membangun pabrik kaca di kawasan rempang dengan kisaran proyek mencapai USD11,6 miliar dan di gadang-gadang menjadi pabrik kaca terbesar ke 2 di dunia setelah perusahaan Saint Gobain asal perancis.
Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh situs BP Batam, proyek ini akan memakan 7.572 hektar lahan atau hampir setengah lahan dari pulau Rempang yang memiliki luas keseluruhan 16.500 hektar dengan rincian dana Rp1,6 triliun yang terbagi melalui pelbagai macam pembangunan seperti pembangunan prasarana konektivitas darat Rp 700 miliyar, konektivitas laut Rp 60 miliyar, pengembangan kawasan Rp790 miliyar serta pemeliharaan jalan darat senilai Rp50 miliyar.
Akibatnya, warga yang terdampak harus direlokasi demi pengembangan proyek ini. Relokasi paksa inilah yang memicu konflik di rempang dan menunjukkan bahwa pemerintah memprioritaskan investor daripada kepentingan rakyatnya. Berbagai penolakan dan perlawanan dilakukan oleh masyarakat rempang atas ketidaksetujuan proyek pembangunan yang sedang digalakkan. Penolakan ini jelas memiliki dasar, sebab secara histori masyarakat melayu sudah menempati wilayah tersebut sejak tahun 1834 dengan memegang teguh nilai adat, etika lingkungan maupun metafisika selama berabad-abad lamanya.
Pembangunan ini yang kemudian nantinya akan melunturkan nilai-nilai yang di percaya baik dalam persoalaan sejarah maupun hak eksistensial masyarakat lokal melayu.
Perlu di garis bawahi, konflik agraria yang kerap muncul belakangan ini harus diterjemahkan sebagai bentuk perwujudan kebutuhan, kebutuhan masyarakat atau justru kebutuhan mendesak negara.
Mengingat bahwa target dari PSN di pulau Rempang harus di rampungkan tahun 2024 mendatang. Ambisi pemerintah terhadap pembangunan proyek ini justru menelantarkan hak-hak dasar warga.
Vandalisme terhadap aparat kepada masyarakat sipil memicu konflik semakin membesar. Konfrontasi, penangkapan masyarakat yang melawan, kekerasan mengakibatkan situasi semakin memburuk.
Melihat para aparat gabungan mulai dari Satpol PP, Polisi dan TNI justru membentuk stigma ancaman dan ketakutan bagi warga setempat. Tidak sedikit warga yang ditangkap akibat mempertahankan hak atas lingkungannya sendiri, padahal ketika mengacu peraturan perundang-undangan sesuai pasal 66 Undang-undang No. 32 Tahun 2009 secara jelas menyatakan setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntuntut secara pidana maupun di gugat secara perdata. Dapat di artikan bahwa, mereka yang memelihara kepentingan lingkungan harus dibebaskan dari pidana walaupun itu di anggap kriminal.
Gejolak yang terjadi di pulau rempang bukanlah persoalaan kecil. Gejolak terjadi karena ketidakpuasan warga terhadap kebijakan pemerintah yang dirasa merugikan. Meskipun RPJPN 2005-2025 akan segera berakhir tidak semestinya pemerintah terlalu tergesah-gesah atas skala pembangunan yang sedang di galakkan tanpa memperhitungkan aspek-aspek lainnya.
Penulis merasa pemerintah terlalu terburu-buru dalam menentukan kebijakan, sedangkan masih ada RUU RPJPN maupun RPJMN yang akan diturunkan dalam Rencana Kerja Pemerintah (RKP) mendatang dengan skala periodik 2025-2045.
Hemat penulis, dalam konteks pembangunan nasional pemerintah musti memprioritaskan kesejahteraan masyarakat, perlunya kebijaksanaan dari pemerintah dalam perumusan kebijakan.
Ihwal investasi memang kerap memunculkan konflik, maka dari itu perlu adanya kajian ulang, evaluasi ulang terhadap kebijakan di rempang. Perlunya moratorium atas proyek PSN serta upaya negosiasi pemerintah dan elemen masyarakat untuk memunculkan kesepakatan sesuai dengan kebutuhan masyarakat tanpa mencederai hak-hak dasar warga. Perlunya penempatan warga sebagai subyek pemerintah bukan penempatan warga sebagai obyek dari pemerintah. (*)
Penulis : Ilham Layli Mursidi (Bidang Partisipasi Pembangunan Daerah HMI Banyuwangi)